@BKS hadir untuk mengungkap KEKRISTENAN yang dianggap TABU ...TINGGALKAN JEJAK ANDA DI KOLOM KOMENTAR ...terima kasih....

Senin, 11 Juli 2011

Kebohongan gereja paling awal atas pembangunan keyakinan kristen

Dua puluh abad yang lalu, masa Kekristenan paling awal hanyalah sebuah titik gelap yang sangat besar, jika menyangkut fakta yang terdokumentasi dan bisa diverifikasi. Bahkan jika Dilihat dari pedomannya, Kitab Perjanjian Baru. Dari empat gospel utama dari para murid Yesus yang dimasukkan ke dalam Kitab Perjanjian Baru yang paling awal adalah Gospel Mark (Markus) – atau yang sering disebut Gospel dari Mark, karena sebenarnya memang tidak diketahui ssiapa penulisnya, dan sudah menjadi kebiasaan pada masa itu memberi hasil karya tertulis sesuai nama orang terkenal – ditulis lebih dari empat puluh tahun Setelah kematian Yesus. Itu adalah empat puluh tahun tanpa CNN, tanpa interview yang direkam. Tanpa mesin pencari Google memunculkan sejumlah laporan saksi mata dari mereka yang benar-benar mengenal Yesus. Jadi bisa dibayangkan sumber yang paling akurat untuk menunjuk Kekristenan paling awal (pada zaman Yesus) hanyalah dongeng yang diceritakan dari mulut ke mulut di belakang api unggun mereka selama empat puluh tahun.
Yang paling merepotkan lagi, apakah empat gospel utama dari murid-murid Yesus itu benar-benar ada untuk dimasukkan ke dalam Kitab Perjanjian Baru. Setelah dua ratus tahun mengikuti Gospel dari Mark, banyak gospel lain ditulis, dengan segala cerita tentang kehidupan Yesus. Berpuluh-puluh gospel yang berbeda bertebaran, seringkali bertentangan satu sama lain.
Pada Desember 1945, di Jabal Al-Tarif di Mesir, dekat dengan kota Nag Hammadi telah ditemukan 13 buku dari kertas papyrus yang tidak salah lagi itu adalah gospel-gospel yang menceritakan Yesus dari sisi lain. Namun sayangnya para petani yang menemukannya tidak menyadari betapa berharganya yang telah mereka temukan itu. Sehingga hanya sisa-sisa lembaran saja yang sampai pada Museum Coptic di Kairo. Dari lembaran yang selamat itu, ada 52 halaman yang menjadi kontroversi besar para cendekiawan Injil, karena tulisan-tulisan ini merujuk pada perkataan dan keyakinan Yesus yang bertentangan dengan semua yang tercantum dalam Kitab Perjanjian Baru.
Diantara teks-teks yang berhasil ditemukan adalah Gospel Thomas, yang menyebutkan diri sebagai gospel rahasia dan dibuka dengan satu kalimat:
“Ini adalah kata-kata rahasia yang diucapkan oleh Yesus sendiri, dan yang oleh kembarannya, Judas Thomas, dituliskan.”
Dan lagi Gospel Philip, yang secara terbuka menggambarkan hubungan Yesus dengan Maria Magdalena sebagai hubungan yang intim. Maria mempunyai teks sendiri (Gospel Maria) yang di dalamnya dia dianggap sebagai seorang murid dan pemimpin sebuah grup kristen. Dan masih banyak lagi gospel.
Sebuah ancaman yang sama ada dalam semua gospel itu, terlepas dari semua tindakan dan kata-kata mereka tentang Yesus yang ada di dalamnya dan sangat berbeda dari isi gospel Kitab Perjanjian Baru, adalah bahwa mereka menganggap keyakinan Kristen yang umum, seperti kelahiran perawan dan kebangkitan kembali, adalah delusi naïf.
Gerakan Kristen, sampai sebelum Kaisar Constantinus berkuasa atas Roma, adalah illegal, sering dibenci, bahkan dianiaya. Dan mereka yang ada pada Kekristenan Awal ini paham bahwa mereka membutuhkan semacam struktur teologis jika ingin tetap hidup dan berkembang.
Di akhir abda ke-2, sebuah struktur kekuasaan mulai terbentuk. Sebuah hierarki uskup 3 tingkat, dan para pembantu uskup muncul dalam beragam komunitas, mengaku bicara untuk mayoritas, meyakini diri mereka sebagai pengawal dari satu-satunya keyakinan yang benar. Tentu saja mereka bukanlah para monster yang haus kekuasaan, mereka sebenarnya sangat berani dengan segala tindakan yang mereka lakukan, dan mungkin mereka takut jika tidak ada satu tatanan yang diterima secara umum, aturan dan ritual yang ketat, seluruh gerakan itu akan menghilang dan mati.
Dengan adanya gerakan yang terstruktur ini, mereka para pendiri gereja berharap bisa mengatasi permasalahn perkembangbiakan gospel yang saling bertentangan yang mengarah pada resiko perpecahan yang fatal.
Hingga pada kepemimpinan Irenaeus, Uskup dari Lyon, sebuah pandangan terpadu akhirnya diterapkan. Hanya diizinkan ada satu gereja dengan satu tatanan keyakinan dan ritual. Semua sudut pandang lain ditolak, dan dianggap bid’ah. Doktrin mereka sangat lugas, tidak ada pertobatan di luar gereja yang benar, anggotanya harus menjadi ortodoks, yang artinya “berpikir lurus”, dan gereja harus Katolik, artinya “universal”.
Irenaeus memutuskan bahwa seharusnya ada 4 gospel sejati, menggunakan argument aneh bahwa ada 4 sudut dunia dan 4 penjuru mata angina, maka seharusnya ada 4 gospel. Dia menulis dalam lima jilid berjudul “The Destruction and Overthrow of Falsely so Called Knowledge” yang di dalamnya dikatakan bahwa hampir semua kitab yang ada adalah menghina Tuhan, dan menentukan 4 gospel yang kita ketahui sekarang ini sebagai catatan pasti dari ucapan Tuhan, tidak ada kesalahan, tidak terbantahkan, dan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pengikut agama. Yang mana keempat gospel yang dipilih Irenaeus memiliki narasi. Mereka berbicara tentang kematian Yesus di kayu salib, dan tentang kebangkitannya kembali, mereka menghubungkannya dengan ritual mendasar ekaristi (Misa Kudus), Perjamuan Terakhir.
Diperlukan dua ratus tahun lagi hingga akhirnya ke-27 teks yang diringkas menjadi apa yang kita kenal sebagai Kitab Perjanjian Baru akhirnya disetujui bersama. Pada akhir abad itu, kekristenan telah menjadi agama yang secara resmi disetujui dan kepemilikan teks lain dianggap sebagai bid’ah dan tindakan criminal. Semua salinan gospel lain yang diketahui dibakar dan dimusnahkan semuanya, kecuali yang disembunyikan dalam gua-gua di Nag Hammadi, yang tidak memperlihatkan Yesus sebagai makhluk supernatural dalam bentuk apapun. Mereka menggambarkan Yesus sebagai seorang guru , seorang manusia yang bisa orang lain tandingi, dan itu tidak bisa diterima oleh Irenaeus dan komplotannya.
Bagi Irenaeus, Yesus tidak bisa hanya seorang manusia. Dia harus lebih baik dari itu. Dia haruslah Putra Allah. Dia haruslah unik. Karena keberadaannya juga unik, gereja menjadi unik, satu-satunya jalan pertobatan. Dengan menggambarkan Yesus dalam situasi itu, gereja pada awalnya bisa mengklaim bahwa jika kau tidak bersama mereka, mengikuti aturan-aturan mereka, hidup dengan cara yang mereka inginkan, kau akan dikutuk selamanya.
Pada dasarnya semua yang diyakini orang Kristen hari ini dan telah diyakini sejak abad ke-4, semua ritual yang mereka lihat, ekaristi, dan hari-hari suci, tidak satu pun adalah bagian dari apa yang pernah dipercayai pengikut Yesus yang pertama. Itu semua buatan manusia, semua dimunculkan Setelah sekian tahun lamanya, ritual dan keyakinan supernatural yang, dalam banyak hal, di impor dari agam-agama pagan pada masa itu, dari Kebangkitan Kembali hingga Natal. Tetapi para pendiri gereja melakukan hal yang sangat hebat dan melihat keadaan dunia sekarang ini, bisa kukatakan hasil kreatif super hebat para pendiri gereja itu sudah kelewat masanya.
sumber : http://iipsaja.blogspot.com

Sabtu, 09 Juli 2011

“Sejarah Gelap Para Paus”

OLeh: Dr. Adian Husaini

 
“Sejarah Gelap Para Paus – Kejahatan, Pembunuhan, dan Korupsi di Vatikan”. Itulah  judul sebuah buku yang belum lama ini diterbitkan oleh Kelompok Kompas-Gramedia (KKG). Edisi bahasa Inggris buku ini ditulis oleh Brenda Ralph Lewis dengan judul Dark History of the Popes – Vice Murder and Corruption in the Vatican.

“Benediktus IX, salah satu paus abad ke-11 yang paling hebat berskandal, yang dideskripsikan sebagai seorang yang keji, curang, buruk dan digambarkan sebagai ‘iblis dari neraka yang menyamar sebagai pendeta’. (hal.9)
Itulah sebagian gambaran tentang kejahatan Paus Benediktus IX dalam buku ini. Riwayat hidup dan kisah kejahatan Paus ini digambarkan cukup terperinci. Benediktus IX lahir sekitar tahun 1012. Dua orang pamannya juga sudah menjadi Paus, yaitu Paus Benediktus VIII dan Paus Yohanes  XIX. Ayahnya, Alberic III, yang bergelar Count Tusculum, memiliki pengaruh kuat dan mampu mengamankan singgasana Santo Petrus bagi Benediktus, meskipun saat itu usianya masih sekitar 20 tahunan.
Paus muda ini digambarkan sebagai seorang yang banyak melakukan perzinahan busuk dan pembunuhan-pembunuhan. Penggantinya, Paus Viktor III, menuntutnya dengan tuduhan melakukan ‘pemerkosaan, pembunuhan, dan tindakan-tindakan lain yang sangat keji’.  Kehidupan Benediktus, lanjut Viktor, ‘Begitu keji, curang dan buruk, sehingga  memikirkannya saja saya gemetar.” Benediktus juga dituduh melakukan tindak homoseksual dan bestialitas.
Kejahatan Paus Benediktus IX memang sangat luar biasa.  Bukan hanya soal kejahatan seksual, tetapi ia juga menjual tahta kepausannya dengan harga 680 kg emas kepada bapak baptisnya,  John Gratian. Gara-gara itu, disebutkan, ia telah menguras kekayaan Vatikan.
Paus lain yang dicatat kejahatannya dalam buku ini adalah Paus Sergius III.  Diduga, Paus Sergius telah memerintahkan pembunuhan terhadap Paus Leo V dan juga antipaus Kristofer yang dicekik dalam penjara tahun 904.  Dengan cara itu, ia dapat menduduki tahta suci Vatikan.  Tiga tahun kemudian, ia mendapatkan seorang pacar bernama Marozia yang baru berusia 15 tahun.
Sergius III  sendiri lebih tua 30 tahun dibanding Marozia.  Sergius dan Marozia kemudian memiliki anak  yang kelak menjadi Paus Yohanes XI, sehingga Sergius merupakan satu-satunya Paus yang tercatat memiliki anak yang juga menjadi Paus.
Sebuah buku berjudul Antapodosis menggambarkan situasi  kepausan dari tahun 886-950 Masehi:
“Mereka berburu dengan menunggang kuda yang berhiaskan emas, mengadakan pesta-pesta dengan berdansa bersama para gadis ketika perburuan usai dan beristirahat dengan para pelacur (mereka) di atas ranjang-ranjang berselubung kain sutera dan sulaman-sulaman emas di atasnya. Semua uskup Roma telah menikah dan istri-istri mereka membuat pakaian-pakaian sutera dari jubah-jubah suci.”
Banyak penulis sudah mengungkap sisi gelap kehidupan kepausan. Salah satunya Peter de Rosa, penulis buku Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy. Buku ini juga mengungkapkan bagaimana sisi-sisi gelap kehidupan dan kebijakan tahta Vatikan yang pernah melakukan berbagai tindakan kekejaman, terutama saat menerapkan Pengadilan Gereja (Inquisisi). Kekejaman Inquisisi sudah sangat masyhur dalam sejarah Eropa. Karen Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal,  menyebutkan, bahwa Inquisisi adalah salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat (one of the most evil of all Christian institutions). (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991).
Inquisisi diterapkan terhadap berbagai golongan masyarakat yang dipandang membahayakan kepercayaan dan kekuasaan Gereja. Buku Brenda Ralph Lewis mengungkapkan dengan cukup terperinci bagaimana Gereja menindas ilmuwan seperti Galileo Galilei dan kawan-kawan yang mengajarkan teori heliosentris. Galileo (lahir 1564 M) melanjutkan teori yang dikemukakan oleh ahli astronomi asal Polandia, Nikolaus Copernicus. Tahun 1543, tepat saat kematiannya, buku Copernicus yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium, diterbitkan.
Tahun 1616, buku De Revolutionibus dimasukkan ke dalam daftar buku terlarang. Ajaran heliosentris secara resmi dilarang Gereja. Tahun 1600, Giordano Bruno dibakar hidup-hidup sampai mati, karena mengajarkan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Lokasi pembakaran Bruno di Campo de Fiori, Roma, saat ini didirikan patung dirinya.
Melihat situasi seperti itu, Galileo yang saat itu sudah berusia lebih dari 50 tahun, kemudian memilih sikap diam.
Pada 22 Juni 1633, setelah beberapa kali dihadirkan pada sidang Inquisisi, Galileo diputus bersalah. Pihak Inquisisi menyatakan bahwa Galileo bersalah atas tindak kejahatan yang sangat mengerikan. Galileo pun terpaksa mengaku, bahwa dia telah bersalah. Bukunya, Dialogo, telah dilarang dan tetap berada dalam indeks  Buku-Buku Terlarang sampai hampei 200 tahun. Galileo sendiri dihukum penjara seumur hidup. Ia dijebloskan di penjara bawah tanah Tahta Suci Vatikan. Pada 8 Januari 1642, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya ke-78, Galileo meninggal dunia. Tahun 1972, 330 tahun setelah kematian Galileo, Paus Yohanes Paulus II mengoreksi keputusan kepausan terdahulu dan membenarkan Galileo.
Kisah-kisah kehidupan gelap para Paus serta berbagai kebijakannya yang sangat keliru banyak terungkap dalam lembaran-lembaran sejarah Eropa. Peter de Rosa, misalnya,  menceritakan, saat pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara mereka di Madrid.
Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah.  Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa di antaranya gila.
Pasukan Prancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakaan biara tersebut.
Kejahatan penguasa-penguasa agama ini akhirnya berdampak pada munculnya gerakan liberalisasi dan sekularisasi di Eropa. Masyarakat menolak campur tangan agama (Tuhan) dalam kehidupan mereka.
Sebagian lagi bahkan menganggap agama sebagai candu, yang harus dibuang, karena selama ini agama digunakan alat penindas rakyat. Penguasa agama dan politik bersekutu menindas rakyat, sementara mereka hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyat. Salah satu contoh adalah Revolusi Perancis (1789), yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”.
Pada masa itu, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan.  Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Prancis.
Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya, muncul sikap anti pemuka agama, yang dikenal dengan istilah “anti-clericalism”. Trauma terhadap Inquisisi Gereja dan berbagai penyimpangan kekuasaan agama sangatlah mendalam, sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu, ialah: “Berhati-hatilah, jika anda berada di depan wanita, hatilah-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a woman if you are in front of her, a mule if you are behind it and a priest whether you are in front or behind).” (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975).
Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama (Kristen) itulah yang memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.
Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam benar mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi dan sejarah persekusi para ilmuwan.
Berbagai penyelewengan penguasa agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja sudah tergoyangkan.
Kaum Muslim, perlu mengambil hikmah dari kasus kejahatan para pemimpin Gereja ini. Ketika para tokoh agama tidak mampu menyelaraskan antara ucapan dan perilakunya, maka masyarakat akan semakin tidak percaya, bahkan bias “alergi” dengan agama.  Jika orang-orang yang sudah terlanjur diberi gelar — atau memberi gelar untuk dirinya sendiri – sebagai “ULAMA”, tidak dapat mempertanggungjawabkan amal perbuatannya, maka bukan tidak mungkin, umat akan hilang kepercayaannya kepada para ulama. Mereka akan semakin jauh dari ulama dan lebih memuja selebriti – baik selebriti seni maupun politik.
Kasus yang menimpa sejumlah tokoh agama Katolik  itu dapat  juga menimpa agama mana saja. Jika tokoh-tokoh partai politik Islam tidak dapat memegang amanah — sibuk  mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya, tak henti-hentinya mempertontonkan konflik dan pertikaian –  maka bukan tidak mungkin, umat akan lari dari mereka dan partai mereka.
Jika para pimpinan pesantren tidak dapat memegang amanah, para ulama sibuk mengejar keuntungan duniawi, dan sebagainya,  maka umat juga akan lari dari mereka.  Jika orang-orang yang dianggap mengerti agama tidak mampu menjadi teladan bagi masyarakat, tentu saja sulit dibayangkan masyarakat umum akan sudi mengikuti mereka.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari semua kisah ini, untuk kebaikan umat Islam di masa yang akan datang.*/Depok, 20 Maret 2011
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini bekerjasama dengan Radio Dakta 107 FM
http://www.hidayatullah.com/read/15983/22/03/2011/