Kesempurnaan Al-Islam, ditandai oleh turunnya Al-Maidah, ayat 3, yang diturunkan ketika haji wada.[1] Dalam khutbahnya, Rasulullah Saw bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya syaitan telah putus asa (berharap banyak) dapat disembah di negerimu ini (baca: Mekkah)”.[2] Peristiwa ini menandakan bahwa proses penancapan dasar Tauhid oleh para nabi sejak risalah pertama oleh Nabi Nuh hingga Isa a.s, dan Nabi Muhammad telah sempurna.[3] Hal ini menandakan bahwa wahyu, atau penyampaian kehendak Allah kepada manusia, memiliki sejarah panjang, dan memiliki beragam bentuk. Wahyu, atau dalam bahasa Ismail Al-Faruqi disebut sebagai, data revelata dilestarikan melalui hafalan.[4] Bentuk-bentuk itu, dikenalkan dalam Al-Quran sendiri, dengan sebutan beragam: Zabur, Taurat, Injil, dan suhuf. Kitab Zabur disebut sebanyak 2 kali dalam bentuk zâbûr dan 2 kali dalam bentuk zubur. Taurat disebutkan secara bergandengan dengan Injil sebanyak 7, disandingkan dengan Al-Quran sebanyak 1 kali, disandingkan dengan injil dan hikmah sekaligus sebanyak 2 kali. Sedangkan Taurat yang disebutkan secara mandiri sebanyak 7. Sedangkan injil yang disebut secara mandiri sebanyak 3. Sedangkan suhuf disebutkan tiga kali, namun dalam surat Abasa , ayat 13, suhuf disebutkan –sebagaimana menurut tafsir mu’tabar, merujuk pada Al-Qur'an.
Namun bagaimana isi dari data revelata itu? Sebab jika merujuk kepada Al-Quran, tidak ada gambaran detail mengenai isi dari kitab dan suhuf. Namun yang paling jelas dan meyakinkan adalah bahwa Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, merupakan pembenar (mushaddiq) terhadap kitab-kitab terdahulu dan mengimaninya merupakan sebuah kewajiban. Peran Al-Quran sebagai mushaddiq sekaligus penyempurna hukum-hukum sebelumnya sekaligus membatalkan sebagian hukum-hukum Taurat yang secara khusus di-taklif-kan kepada Bani Israil, menandakan bahwa dalam proses pewahyuan ada sebuah perubahan (change) dan kesinambungan (continuity). Kepentingan lain dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hukum yang tertuang dalam kitab dan suhuf para nabi terdahulu sehingga dengan segera dapat tergambar apa yang menjadi ushul al-dakwah para nabi itu. Namun harapan atas kesulitan-kesulitan di atas seolah muncul setelah kita mengetahui secara historis bahwa Nabi Ibrahim –salah satu nabi yang menerima suhuf, hidup pada zaman patriarkal -2000-1400 SM- ada kemungkinan bahwa beliau bisa menulis dan membaca serta memandang hormat teks pesan Ilahi seperti orang-orang sezamannya, Hammurabi, yaitu orang-orang senegri dengan Ibrahim. Kendati arkeolog belum menemukan bukti fisik keberadaanya, beralasanlah untuk mengharap keberadaan mereka.[5]Harapan itu menjadi lebih terang terlebih setelah penemuan arkeolog yang mengejutkan banyak ahli filologi abad ini, yaitu ditemukannya naskah-naskah kitab suci yang memiliki rahasia kuno yang tersembunyi di padang Yudea selama kurang lebih 2000 tahun. Namun setelah empat dekade sejak penemuannya, banyak rahasia gulungan itu disembunyikan oleh kelompok kecil sarjana yang memegang hak eksklusif atas dokumen tersebut. Barulah pada September 1991, gulungan itu difoto secara diam-diam (dicuri) kemudian disebar melalui pos ke seluruh wilayah negeri itu. Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, beberapa naskah gulungan Qumran yang berbahasa Ibrani berbeda jauh dengan naskah Masoret –kitab perjanjian lama yang paling tua yang ditulis sekitar tahun 1005 M. Hal ini mengundang pertanyaan besar, apakah para Masoret yang terkenal teliti itu kurang teliti, ataukah teks Qumran menunjukkan sebagai versi Bible Ibrani lain yang berbeda dengan bible yang dipakai sekarang? Selain itu, naskah Qumran ini menunjukkan kepada kita fakta bahwa Yudaisme abad pertama memiliki persamaan dengan Kristen awal. Sementara itu tidak ada satu kitab pun dari Perjanjian Baru versi konsili Nicaea pada 325 M, yang tertulis dalam naskah Qumran.[6]
Selain merujuk pada data-data sejarah di atas, penulis akan mencoba melihat bagaimana pendapat berbagai macam mufassir mengenai ayat-ayat yang berkenaan dengan kitab dan suhuf terdahulu. Selain itu, penulis akan mencoba melihat riwayat dan hadits-hadits dengan bantuan program Al-Maktab Al-Syamilah versi.2.
Kitab dan Suhuf dalam Hadits dan Al-Quran
Dalam shahîh Ibnu Hibbân, Rasulullah ditanya tentang shuhuf yang diturunkan kepada suhuf Nabi Allah Musa a.s. Rasulullah s.a.w berkata, “Sebahagian daripada kandungan suhuf Nabi Musa a.s adalah: 1. Aku heran pada orang yang telah meyakinkan akan datangnya kematian (yakin dirinya akan mati dan ditanya tentang amalannya), tetapi mengapa mereka merasa bahagia dan gembira di dunia (tidak membuat persediaan).(2). Aku heran kepada orang yang yakin akan neraka, tapi mereka malah banyak tertawa, (3) Aku heran kepada orang yang telah meyakini akan adanya qadar (ketentuan) Allah, tetapi mengapa mereka marah-marah (bila sesuatu musibah menimpa dirinya). (4) Aku heran dengan orang yang melihat dunia dengan cara yang berlebihan dan bergaul dengan ahlinya, (5) Aku heran pada orang yang telah meyakini akan adanya hisab (hari pengiraan amal baik dan buruk), tetapi mengapa mereka tidak berbuat kebaikan?”.[7]
Dari satu-satunya hadits yang penulis temukan mengenai suhuf Musa di atas, dapat kita identifikasi hal-hal berikut:
Pertama, bahwa budaya masyarakat ketika Nabi Musa berdakwah penuh dengan hipokritas yang sudah memuncak. Di satu sisi masyarakat Yahudi ketika itu benar-benar meyakini akan datangnya kematian, namun di sisi lain, pengetahuannya hanya tinggal sebatas pengetahuan. Hal ini diperkuat oleh beberapa Ayat Al-Quran. (lihat, Al-Baqarah, 44; Al-Jumu’ah, 5). Hipokritas ini relevan dengan sikap mereka terhadap hari akhir yang dengan pengetahuan yang mereka miliki tentang tanda-tanda hari akhir, namun tidak memiliki konsekwensi moral dalam perilaku keseharian mereka. Kedua, pengetahuan-pengetahuan tentang akhirat, qadar, hisab, dan kesementaraan dunia merupakan materi yang sinergi dengan kandungan Al-Quran. Hal ini menjadi bukti bahwa suhuf Musa a.s. merupakan penjelas dari wahyu Allah.
Sedangkan dalam surat Al-Najm, 53. Allah SWT berfirman, “Apakah tidak pernah diberitakan apa yang ada dalam suhuf Musa dan Ibrahim yang telah ditunaikan?”. Dan surat Al-‘Alâ, 19., “Suhuf Ibrahim dan Musa”. Dalam Tafsir Jalalain, ‘suhuf Musa’ diartikan sebagai lembaran-lembaran Taurat atau lembaran-lembaran yang berisi ajaran para nabi sebelumnya. Sedangkan dalam tafsir Al-Thabari, suhuf Musa berisi tentang ancaman Allah di akhirat. Sedangkan suhuf Ibrahim, adalah risalah yang telah disampaikan oleh Ibrahim dan telah tertunaikan.[8] Sedangkan Ibnu ‘Âsyûr mengatakan bahwa suhuf musa itu adalah Taurat. Sebagaimana juga suhuf Musa, inti dari suhuf Ibrahim adalah apa yang ada dalam surat Al-‘Ala.[9] Sedangkan dalam Ibnu Katsir, beliau mengetengahkan sebuah hadits dari Ibnu Hatim tentang pernyataan Rasulullah tentang kenapa Nabi Ibrahim disebut orang ‘yang telah menunaikan’? Rasul menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim selalu berdakwah setiap pagi dan sore, “Bertasbihlah kepada Allah di waktu sore hari dan shubuh” (QS. Al-Rum, 17).[10] Dalam footnote Al-Quran terjemah Depag, disebutkan bahwa yang dimaksud bertasbih adalah, ‘Shalat’.[11] Dalam Aisar Al-Tafasir, ditambahkan bahwa suhuf Ibrahim itu terdiri dari 10 buah.[12] Sedangkan dalam tafsir Al-Zamakhsyary, disebutkan bahwa suhuf Nabi Ibrahim terdiri dari 30 buah suhuf, sepuluh pokok tentang pertaubatan, sepuluh pokok tentang ciri-ciri mukmin, dan sepuluh pokok lainnya tentang konsekwensi keimanan.[13]
Mengenai surat Al-‘Alâ terdapat berbagai macam pendapat, diantaranya Tafsir Al-Tabari mengutip berbagai macam ta’wil mengenai ayat terakhir surat Al-‘Alâ. Pendapat Ikrimah bahwa ‘suhuf Musa dan Ibrahim’ adalah maksudnya ayat-ayat yang ada dalam surat ini. Sedangkan Abu Al-‘Aliyah mengenai ‘suhuf Musa dan Ibrahim’ mengatakan bahwa kisah mengenai kandungan surat Al’Alâ terdapat dalam suhuf-suhuf terdahulu. Sedangkan Qatadah mengatakan bahwa yang ada dalam suhuf Musa dan Ibrahim hanya ayat, “Dan sungguh bahwa akhirat itu lebih baik dan kekal”. Dan setelah mengungkap beragam pendapat di atas, Imam Al-Thabari mengatakan bahwa, “Pendapat yang paling tepat adalah, bahwa ayat 14-17 lah yang benar-benar ada dalam suhuf Musa dan Ibrahim. Sebab ayat sebelumnya ditujukan kepada Nabi Muhammad”.[14]
Sedangkan mengenai istilah kitab, hadits panjang dari Abu Hurairah bercerita tentang ucapan Rasulullah mengenai keistimewaan hari jum’at, “Hari jum’at adalah sebaik-baiknya hari di mana matahari diterbitkan, yaitu karena pada hari itu Adam diciptakan, kemudian di keluarkan dari surga, pada hari itu juga ia bertaubat, dan hari itu juga ia meninggal. Hari jum’at adalah ditetapkannya hari kiamat” Kemudian Ka’ab membuka Taurat kemudian membenarkan ucapan Rasulullah karena bersesuaian dengan Taurat.[15] Hadits dari Ibnu Umar menjelaskan tentang ucapan Nabi terhadap dua orang Yahudi yang berzinah, dengan merujuk pada Taurat nabi bertanya, “Apakah kalian mengetahui bahwa pezina mendapatkan rajam dalam Taurat?”. Mereka menjawab, “Tidak baginda, kami hanya menemukan dalam taurat mengenai hukum jilid”, Rasul bersabda, “Kalian telah berbohong, sesungguhnya dalam taurat ada hukum rajam”, mereka menjawab, “Engkau benar-benar jujur wahai Rasul, dalam Taurat terdapat ayat tentang rajam”. Kemudian para pezina itu mendapat hukum rajam.[16] Dalam Sahih Bukhari, riwayat Amr bin Ash menerangkan bahwa dalam Taurat sudah dijelaskan sifat-sifat Nabi Akhir Zaman.[17] Dalam Sahih Bukhari, riwayat dari Abu Hurairah menjelaskan bahwa, Taurat itu berbahasa Ibrani.[18]
Sedangkan injil, diceritakan ada namus atau tanda-tanda –seperti juga dalam Taurat, tentang kenabian Muhammad SAW.[19] Salah satu surat dalam Al-Quran yang tidak diturunkan dalam Zabur, Taurat, dan Injil adalah surat Al-Fâtihah.[20] Secara etomologi, Ibnu Hajar mendefinisikan zabur sebagai kitab. Bahkan Rasulullah menyebut zabur sebagai bacaan dalam riwayat Al-Kusymihanni. Disebut zabur karena ia mazbûr atau maktûb atau tertulis. Dan berarti zabur juga karena berupa kumpulan tulisan tertentu. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zabur adalah taurat itu sendiri. Qatadah berkata, bahwa zabur terdiri dari 150 surat keseluruhannya berisi wejangan dan sanjungan terhadap Allah SWT. Di dalamnya tidak ada halal, haram, kewajiban (faraid) ataupun hudûd (hukum publik). Akan tetapi, untuk kebutuhan hal tersebut merujuk kepada taurât. Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dan lain-lainnya. Imam Nawawi berkata, “Orang sholeh di zaman Daud mengkhatamkan zabur empat kali di waktu malam, dan empat kali di waktu siang”.[21]
Suhuf dan Kitab dalam Penemuan Sejarah dan Arkeologi
Perjalanan panjang kitab Taurat berawal dari wafatnya Nabi Sulaiman tahun 992 SM. Kerajaan beliau selanjutnya terpecah menjadi dua, di utara dinamakan Kerajaan Israel dengan ibukota Samaria, dan di selatan dinamakan Kerajaan Yehuda dengan ibukota Yerusalem. Yerusalem dipercaya sebagai tempat penyimpanan naskah asli Taurat sehingga warga Israel sering beribadah di Yerusalem (Kamal, Asal-usul Kitab Suci:16). Dalam perjalanan selanjutnya, bangsa Israil kembali menyembah berhala, sedangkan bangsa Yehuda mulai melanggar banyak hukum taurat sehingga Allah menghancurkan mereka melalui raja Babylonia dan Nebukanedzar. Setelah semuanya tidak ada yang tertinggal bahkan bahasa Ibraninya sendiri, Nabi Uzair a.s pernah mencoba menulis ulang kitab Taurat Musa dalam bahasa Aram yang kemudian disebut Naskah Septuaginta. Sayangnya kedua naskah tersebut raib pada abad 2 SM.[22]
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa kitab Taurat nabi Musa as sudah lenyap sejak abad ke-3 SM. Begitu pula salinan Nabi Uzair dan naskah Septuaginta. Namun sekitar tahun 70-an, muncullah injil penggenap yang disebut Injil Perjanjian Baru dalam tradisi Aquila (130 M), Theodotion (abad ke-2 M) dan Symmakus (abad ke-3 M) yang dilakukan oleh revisionis Septuaginta ortodoks seperti Origenes (232-254), Uskup Mesir Hesikhius, dan Tua-tua Lukian di Anthonia (311).[23]
Oleh karena itu, satu-satunya bukti arkeologis mengenai lembaran-lembaran kitab kuno adalah apa yang ditemukan di Qumran, Yudea. Naskah tersebut dikenal sebagai naskah ‘Gulungan Laut Mati’ atau The Dead Sea Schroll. Sedangkan suhuf Musa, penulis mendapatkan salinan terjemahnya dari blog Aby Yusuf’s Site. Namun karena sumbernya tidak disebutkan, penulis tidak akan cantumkan di sini. Sedangkan seluruh kitab yang terangkum dalam Perjanjian Baru merupakan hasil kesepakatan konsili Neceae pada 325 M, maka orisinalitasnya perlu dipertanyakan. Kitab baru ini berisikan karangan Matius, Markus, Lukas, dan Yohannes, 13 surat yang ditulis Paulus, 3 surat Yohannes, 1 surat Yakobus, 1 surat Yudas, 2 surat Petrus, 1 surat Lukas kepada orang Ibrani, dan Wahyu kepada Yohannes. Semua surat yang ditulis Paulus, Yakobus, Yohannes, Yudas, Petrus, dan lain-lain jelas bukan firman Tuhan dan biasanya dalam beberapa versi, tulisan yang terakhir ini tidak berwarna merah seperti tulisan empat kitab lainnya. A. Tricot, seperti dikutip Bucaille, menerangkan bahwa Injil Matius, Markus dan Lukas telah disusun setelah 70 M. Kecuali Markus, ketiga Injil tersebut sebenarnya tidak ditulis sebelum tahun itu dan tidak diriwayatkan dalam bentuk tertulis. Oleh karenanya, lagi-lagi orisinalitasnya sangat rendah dan membuka kemungkinan pemalsuan-pemalsuan karena ditulis hampir 50 tahun setelah Yesus diangkat oleh Allah. Bagaimana dengan Markus? Seperti disebutkan di atas, ia sebenarnya bukan sahabat (rasul dalam tradisi Kristen), tapi adalah anak sahabat Yesus, yaitu Zebedeus. Artinya, Kitab Markus sebagai kitab tertua yang ditulis pada tahun sebelum 70, ternyata tidak ditulis oleh murid Yesus sendiri. Hal ini mengakibatkan sebuah kenyataan bahwa, baik Matius, Lukas atau Yahya tidak tahu bagian mana yang merupakan Injil Markus dan mana yang bersumber dari Zebedeus. Dengan begitu, menurut R.P. Kannengiesser, “Orang akan mendapatkan suatu ide yang kongkrit tentang kebebasan para pengarang dalam membentuk susunan literer hikayat-hikayat Bibel sampai permulaan abad ke-2”.[24]
Oleh karena itu peninggalan sejarah yang masih membuka peluang untuk digali isi kebenarannya adalah naskah Qumran. Sayang sampai saat ini masih tidak bisa dikonsumsi oleh publik. Namun menurut Ataur Rahim, penulis Misteri Yesus dalam Sejarah, mengatakan bahwa dokumen-dokumen yang masih memiliki tingkat keaslian lebih baik dari Perjanjian Baru adalah Injil Barnabas dan Injil Hermas. Injil Barnabas ditulis langsung oleh sahabat Yesus. Sebuah keberuntungan, bahwa sebelum konsili Nicaea pada 325 M, Injil Barnabas sempat menjadi injil induk (canonical) dan dengan begini dapat menggambarkan bagaimana tradisi kristen awal. Barnabas yang seorang Yahudi adalah sahabat Yesus yang sepeninggal beliau, mempertahankan ajaran murni Yesus dari setiap bid’ah, terutama upaya-upaya yang dilakukan oleh Paulus dari Tarsus.
Fungsi Kitab dan Suhuf dalam Ushul Dakwah Para Nabi
Dari uraian di atas kita dapat menganalisa bagaimana posisi kitab dan suhuf sebagai Ushul Al-Dakwah para nabi Allah pra Nabi Muhammad SAW. Dalam literatur pelajaran agama Islam untuk tingkat SD, SMP, dan SMA, selalu ditekankan bahwa Kitab yang wajib diimani ada 4, yaitu: Taurat, Zabur, Injil, dan Quran. Tentu saja ini merupakan poin penting dalam pengajaran Islam. Bahkan ke depan perlu juga dibicarakan mengenai penyimpagan-penyimpangan yang dilakukan oleh Yahudi dan Nashrani, khususnya berkaitan dengan kitab Taurat dan Injil.
Namun sedikit sekali diantara kita yang mengetahui bahwa kitab yang berisi tentang syari’at hanya ada tiga, yaitu Taurat, Injil dan Quran[25]. Adapun zabur, seperti dikutip oleh Qatadah ia berkata, bahwa zabur terdiri dari 150 surat keseluruhannya berisi wejangan dan sanjungan terhadap Allah SWT. Di dalamnya tidak ada halal, haram, kewajiban (faraid) ataupun hudûd (hukum publik). Akan tetapi, untuk kebutuhan hal tersebut merujuk kepada taurât. Sedangkan Injil berisi tentang pelurusan-pelurusan yang dilakukan oleh Ahl Al-Kitab mengenai proses penciptaan alam semesta, keesaan Allah, dan tanda-tanda (namus) tentang kenabian Muhammad.
Tidak banyak riwayat mengenai kitab dan suhuf nabi pasca Musa dan sebelum Isa a.s., kecuali keterangan mengenai zabur. Oleh karena itu kita dapat mengatakan bahwa kitab dan suhuf yang dijadikan ushul dakwah oleh Nabi Musa dan nabi setelahnya adalah Taurat. Bahkan satu-satunya keterangan yang kita dapatkan dari naskah masoret dikatakan bahwa Nabi Uzair pernah menulis ulang Taurat yang sudah disimpangsiurkan oleh Yahudi.
Lalu bagaimana dengan suhuf Ibrahim? Tentu saja, karena suhuf Ibrahim diwahyukan sebelum Taurat, maka satu-satunya keterangan adalah apa yang ada dalam surat Al-’Alâ, yaitu tentang tazkiyyah al-nufs, dzikir dan shalat, serta peringatan tentang kesementaraan dunia dan kekekalan akhirat. Hal ini dapat kita lihat dari kesimpulan Imam Al-Thabari dalam tafsirnya mengenai surat Al-’Alâ seperti disinggung sebelumnya. Keterangan lain yang penulis dapatkan adalah dalam Aisar Al-Tafasir, ditambahkan bahwa suhuf Ibrahim itu terdiri dari 10 buah. Sedangkan dalam tafsir Al-Zamakhsyary, disebutkan bahwa suhuf Nabi Ibrahim terdiri dari 30 buah suhuf, sepuluh pokok tentang pertaubatan, sepuluh pokok tentang ciri-ciri mukmin, dan sepuluh pokok lainnya tentang konsekwensi keimanan.
Kesimpulan
Ushul dakwah –dalam pengertian materi-materi yang didakwahkan, dapat kita simpulkan dalam Taurat, Zabur, Injil dan Suhuf adalah sebagai berikut:
- Semua kitab dan suhuf berisi ajaran Tauhid, pengesaan Allah, dan peniadaan makhluk yang serupa, kemustahilan Allah untuk beranak dan diperanakkan.
- Kitab yang berisi syari’at adalah suhuf ibrahim (yang tanpa nama), Taurat, Injil, dan Al-Quran. Syari’at yang termaktub dalam suhuf Ibrahim, belum mengatur tata masyarakat dan memberikan tahap awal ajaran Tauhid yang diperlukan oleh tata masyarakat. Sedangkan Taurat, selain berisikan tentang ajaran Tauhid, berisi juga tentang hukum rajam, mencuri, makanan yang halal dan haram, tentang proses penciptaan alam (kesaksian Al-Quran dan Injil Barnaba), dan pengkhianatan Yahudi terhadap kematian para nabi sebelum Isa (kesaksian Al-quran dan Injil sheperd of Hermas). Suhuf Musa, dalam sebuah riwayat tidak disebutkan jumlah ashfar-nya. Sedangkan shuhuf Ibrahim seperti dalam tafsir Al-Zamakhsyary, disebutkan terdiri dari 30 buah suhuf, sepuluh pokok tentang pertaubatan, sepuluh pokok tentang ciri-ciri mukmin, dan sepuluh pokok lainnya tentang konsekwensi keimanan.
- Kitab Zabur terdiri dari 150 surat keseluruhannya berisi wejangan dan sanjungan terhadap Allah SWT. Suhuf Musa yang tidak disebutkan ashfar-nya itu merupakan penjelas dari Taurat.
- Kitab Injil berisi pelurusan-pelurusan Taurat yang telah disimpangsiurkan oleh Yahudi. Selain itu, Injil juga berbicara tentang penguatan hukum-hukum syari’at yang ada dalam Taurat. Namun Injil tidak memuat syari’at baru, selain syari’at yang telah ditetapkan Allah dalam Taurat. Sebagai mana taurat, Injil ditulis dalam bahasa Ibrani.
Al-Thabary, Tafsir Al-Thabary, Maktab Al-Syamilah, Ishdar Al-Tsani.
Aisar Al-Tafâsir, Maktab Al-Syamilah, Ishdar Al-Tsani.
Al-Bayanun, Madkhol ilâ ilm al-dakwah.
Al-Faruqi, et.al, 2000. Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khasanah Peradaban Gemilang, Mizan: Bandung,
Al-Quran Al-Karim, Terjemah Depag, hal. 643.
Al-Zamakhsyary, Tafsir Al-Zamakhsary, Maktab Al-Syamilah, Ishdar Al-Tsani
Bukhari, Shahîh Al-Bukhari, Maktab Al-Syamilah, Ishdar Al-Tsani
Ibnu ’Âsyûr, Tafsir Li Ibn Asyur, Maktab Al-Syamilah, Ishdar Al-Tsani.
Ibnu Hajar Al-‘Asyqolani, Fathul Bâri, Bab Firman Allah, “Dan Kami berikan Daud Zabur”, Maktab Al-Syamilah, Ishdar Al-Tsani.
Ibnu Hibban, Sahîh Ibn Hibban, Maktab Al-Syamilah, Ishdar Al-Tsani
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-’Adhim, Maktab Al-Syamilah, Ishdar Al-Tsani
Imam Malik, Muwattha, Maktab Al-Syamilah, Ishdar Al-Tsani
Bucaille, Maurice, Dr., 1991. Bibble, Quran, dan Sains Modern, Pustaka Pelajar, Jakarta.
Rahim, Muhammad Ataur .1994. Misteri Yesus dalam Sejarah, Pustaka Da’i: Jakarta
www.wikipedia.org, Perjanjian Lama: 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar