Jauh sebelum berbagai bangsa mengenal toleransi, di awal abad ke-7 Masehi, Nabi Muhammad saw telah memberi contoh toleransi beragama di Madinah. Termasuk terhadap kaum Yahudi. Di tengah kondisi Madinah yang cukup akomodatif, Nabi Saw menetapkan perangkat-perangkat dasar untuk mewujudkan kehidupan yang harmoni bagi seluruh unsur masyarakat Madinah. Maka lahirlah Shahifah al-Madinah atau Piagam Madinah yang menurut Dr. M Hamidullah merupakan konstitusi negara tertulis yang pertama di dunia (the first written constitution in the world).
Piagam Madinah menjelaskan bentuk negara, mengatur hubungan antar kelompok masyarakat, hak dan kewajibannya kepada negara, kehidupan beragama, asas peradilan dan sumber hukum, dan lain sebagainya. Selain mengejawantahkan konsep kenegaraan baru berupa al-ummah al-muslimah (umat muslim), isu kemajemukan juga menjadi sorotan utama Piagam Madinah. Terkait kaum Yahudi, berdasarkan susunan Dr. Hamidullah, dari 47 pasal Piagam Madinah, terdapat sekitar 24 pasal yang menyebut kaum Yuhudi. Pasal-pasal tersebut mencakup beragam isu, di antaranya status kewarganegaraan, kebebasan beragama, tanggung jawab bersama dalam bidang sosial, ekonomi dan keamanan, kebebasan berpendapat, dan keadilan.
Berdasarkan teks Piagam Madinah yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyyah, jilid 2 hal. 94-96, Nabi Saw menyatakan, “wa inna yahuda bani `auf ummatun ma`al mu’minin (sesungguhnya Yahudi Bani `Auf adalah satu umat bersama kaum Mukmin).” Dengan pengakuan ini, otomatis kaum Yahudi memperoleh hak-hak selayaknya warga negara. Salah satu yang terpenting adalah hak kebebasan beragama, “lil yahudi dinuhum wa lil muslimin dinuhum, mawalihim wa anfusuhum (kaum Yahudi menjalankan agamanya sendiri, sebagaimana kaum Muslim juga menjalankan agamanya sendiri. Ini berlaku bagi orang-orang yang terikat hubungan dengan Yahudi dan diri Yahudi sendiri).”
Dengan adanya jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama ini, kaum Yahudi di Madinah dapat menjalankan kegiatan keagamaan dengan tenang di lingkungannya. Begitu juga dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah agama Yahudi yang disebut Bayt al-Midras beraktivitas sebagaimana biasa, bahkan semakin giat dari sebelumnya karena terpacu dengan kehadiran Islam di Madinah. Ibnu Ishaq menyebutkan, Rasulullah saw pernah berkunjung dan masuk ke sekolah Yahudi untuk berdialog dengan para Ahbar (pemuka Yahudi). Begitu juga Abu Bakar r.a., dikabarkan pernah masuk kedalam Midras dan “mendapati banyak sekali orang di sana.” (Jilid 2 hal. 129 dan 134).
Terkait dengan keamanan kota Madinah, kaum Muslim dan Yahudi harus bahu membahu mewujudkannya. Kaum Muslim tidak akan membiarkan Yahudi diserang musuh dari luar, dan begitu juga sebaliknya. Dalam teks Piagam Madinah, Nabi Saw menyatakan, “wa inna baynahum an-nashr `ala man dahama Yatsrib (kaum Muslim dan kaum Yahudi saling menolong dalam mempertahankan Madinah dari serangan pihak luar).” Karena itu, baik Muslim maupun Yahudi sama-sama berkewajiban menanggung beban biaya perang untuk mempertahankan Madinah dari serangan musuh, “wa innal yahuda yunfiqun ma`al mu’minin ma damu muharabin (sesunguhnya kaum Yahudi dan kaum Mukmin sama-sama menanggung biaya perang bila diserang musuh).”
Dari penjelasan sebagian pasal Piagam Madinah yang menyangkut kaum Yahudi, tampak sejak awal Rasulullah saw menghendaki terbangunnya tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis di Madinah. Pendekatan persuasif ini tampak semakin jelas, ketika Nabi Saw menyebut kaum Yahudi (bersama Nasrani) sebagai Ahl al-Kitab. Dengan sebutan ini, maka dampaknya antara lain, lelaki Muslim masih dibolehkan menikahi wanita Yahudi dan daging hewan sembelihan Yahudi halal dimakan oleh Muslim.
Dalam muamalat, jual beli dan pelbagai bentuk transaksi lainnya yang tidak bertentangan dengan syari`at Islam, kaum Muslim juga dibolehkan melakukannya dengan Yahudi. Faktanya, setelah kedatangan Nabi Saw ke Madinah, kaum Muslim tetap melakukan transaksi di pasar Yahudi. Abdurraman bin `Auf, seorang sahabat terkemuka, memulai peruntungannya di hari-hari pertama keberadaannya di Madinah dengan berdagang di pasar Bani Qainuqa`, milik Yahudi (Shahih al-Bukhari, no. 3780). Ali bin Abu Thalib, menantu Nabi Saw, sebagian persiapan walimahnya ditangani oleh seorang dari Bani Qainuqa` (Shahih Muslim, no. 5242). Bahkan, Nabi Saw menggadaikan baju perangnya dengan 30 Sha` gandum kepada seorang Yahudi Bani Zhafar bernama Abu Syahm (Ibnu Hajar, Fathul Bari, Jilid 7 h. 461).
Batas toleransi Nabi
Jaminan konstitusi dan pendekatan-pendekatan persuasif yang dilakukan Nabi saw menunjukkan toleransi yang tinggi kepada kaum Yahudi. Tapi, seiring perjalanan waktu, kaum Yahudi melihat masyarakat Muslim sebagai ancaman bahkan musuh. Sejumlah inidividu Yahudi membuat kericuhan dan menyebarkan permusuhan. Fanhash, seorang Ahbar (Rabbi) Yahudi, menghina Allah dan al-Qur’an di hadapan Abu Bakar (Ibnu Ishaq, Jilid 2 hal. 134); Ka`ab bin al-Asyraf, pemuka Bani Nadhir, merusak kios-kios di pasar baru milik kaum Muslim (as-Samhudi, Wafa al-Wafa, Jilid 1 hal. 539); Sallam bin Misykam, pemuka Bani Nadhir, sempat menjamu Abu Sufyan di rumahnya dalam perang Sawiq dan memberi informasi penting tentang kaum Muslim (Ibnu Ishaq, Jilid 3 hal. 4).
Sikap permusuhan yang digalang para pemuka agama dan tokoh masyarakat Yahudi ini semakin dipertajam oleh para penyair. `Ashma binti Marwan, Abu `Afak, dan Ka`ab bin al-Asyraf adalah penyair-penyair terkemuka Yahudi yang hampir tidak pernah berhenti menggunakan kekuatan lisannya untuk melontarkan bait-bait yang menghina Islam dan sosok Nabi Saw.
Nabi Saw menghadapi para penyair ini dengan sikap tegas, karena mereka orang-orang berpengaruh di masyarakat. Nabi Saw memerintahkan mereka dihukum mati. Terlebih Ka`ab bin al-Asyraf yang menyampaikan simpatinya secara langsung dan terbuka kepada Quraisy setelah kekalahan mereka di Badar. Bahkan, ia terus mengobarkan dendam agar segera bangkit dan menyiapkan perang besar melawan Madinah. (Prof Dr Muhammad bin Faris, an-Naby wa Yahud al-Madinah, h. 101-120).
Permusuhan Yahudi semakin meluas dan dilakukan berkelompok. Kasus pelecehan terhadap seorang Muslimah di pasar Bani Qainuqa` berujung pada terbunuhnya pemuda Muslim yang membelanya, Bani Qainuqa` menggalang solidaritas dan menantang secara terbuka, “Hai Muhammad, jangan lekas bangga hanya karena berhasil membunuh beberapa orang Quraisy. Mereka itu hanyalah orang-orang liar yang tidak pandai berperang. Demi Allah, jika kami yang engkau perangi, maka engkau akan merasakan kehebatan kami. Engkau tidak akan pernah merasakan lawan sekuat kami!” (Ibnu Ishaq, Jilid 2 hal. 129). Dalam kondisi seperti itu, Nabi saw pun bersikap tegas. Tantangan Bani Qainuqa’ dijawab dengan tegas. Mereka diperangi.
Yahudi Bani Quraizhah melakukan pengkhianatan terhadap negara. Klan terakhir Yahudi ini berkhianat dengan mendukung pasukan musuh (Ahzab) dalam perang Khandaq. Menghadapi permusuhan kolektif ini, Nabi Saw tidak punya pilihan selain menghukum mereka secara kolektif. Bani Qainuqa` dan Bani Nadhir diusir dari Madinah. Sedang Bani Quraizhah, semua lelakinya yang sanggup berperang dieksekusi.
Itulah toleransi Nabi Muhammad saw terhadap Yahudi. Wallahu a’lam bil-sahawab. (***)
Berdasarkan teks Piagam Madinah yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyyah, jilid 2 hal. 94-96, Nabi Saw menyatakan, “wa inna yahuda bani `auf ummatun ma`al mu’minin (sesungguhnya Yahudi Bani `Auf adalah satu umat bersama kaum Mukmin).” Dengan pengakuan ini, otomatis kaum Yahudi memperoleh hak-hak selayaknya warga negara. Salah satu yang terpenting adalah hak kebebasan beragama, “lil yahudi dinuhum wa lil muslimin dinuhum, mawalihim wa anfusuhum (kaum Yahudi menjalankan agamanya sendiri, sebagaimana kaum Muslim juga menjalankan agamanya sendiri. Ini berlaku bagi orang-orang yang terikat hubungan dengan Yahudi dan diri Yahudi sendiri).”
Dengan adanya jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama ini, kaum Yahudi di Madinah dapat menjalankan kegiatan keagamaan dengan tenang di lingkungannya. Begitu juga dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah agama Yahudi yang disebut Bayt al-Midras beraktivitas sebagaimana biasa, bahkan semakin giat dari sebelumnya karena terpacu dengan kehadiran Islam di Madinah. Ibnu Ishaq menyebutkan, Rasulullah saw pernah berkunjung dan masuk ke sekolah Yahudi untuk berdialog dengan para Ahbar (pemuka Yahudi). Begitu juga Abu Bakar r.a., dikabarkan pernah masuk kedalam Midras dan “mendapati banyak sekali orang di sana.” (Jilid 2 hal. 129 dan 134).
Terkait dengan keamanan kota Madinah, kaum Muslim dan Yahudi harus bahu membahu mewujudkannya. Kaum Muslim tidak akan membiarkan Yahudi diserang musuh dari luar, dan begitu juga sebaliknya. Dalam teks Piagam Madinah, Nabi Saw menyatakan, “wa inna baynahum an-nashr `ala man dahama Yatsrib (kaum Muslim dan kaum Yahudi saling menolong dalam mempertahankan Madinah dari serangan pihak luar).” Karena itu, baik Muslim maupun Yahudi sama-sama berkewajiban menanggung beban biaya perang untuk mempertahankan Madinah dari serangan musuh, “wa innal yahuda yunfiqun ma`al mu’minin ma damu muharabin (sesunguhnya kaum Yahudi dan kaum Mukmin sama-sama menanggung biaya perang bila diserang musuh).”
Dari penjelasan sebagian pasal Piagam Madinah yang menyangkut kaum Yahudi, tampak sejak awal Rasulullah saw menghendaki terbangunnya tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis di Madinah. Pendekatan persuasif ini tampak semakin jelas, ketika Nabi Saw menyebut kaum Yahudi (bersama Nasrani) sebagai Ahl al-Kitab. Dengan sebutan ini, maka dampaknya antara lain, lelaki Muslim masih dibolehkan menikahi wanita Yahudi dan daging hewan sembelihan Yahudi halal dimakan oleh Muslim.
Dalam muamalat, jual beli dan pelbagai bentuk transaksi lainnya yang tidak bertentangan dengan syari`at Islam, kaum Muslim juga dibolehkan melakukannya dengan Yahudi. Faktanya, setelah kedatangan Nabi Saw ke Madinah, kaum Muslim tetap melakukan transaksi di pasar Yahudi. Abdurraman bin `Auf, seorang sahabat terkemuka, memulai peruntungannya di hari-hari pertama keberadaannya di Madinah dengan berdagang di pasar Bani Qainuqa`, milik Yahudi (Shahih al-Bukhari, no. 3780). Ali bin Abu Thalib, menantu Nabi Saw, sebagian persiapan walimahnya ditangani oleh seorang dari Bani Qainuqa` (Shahih Muslim, no. 5242). Bahkan, Nabi Saw menggadaikan baju perangnya dengan 30 Sha` gandum kepada seorang Yahudi Bani Zhafar bernama Abu Syahm (Ibnu Hajar, Fathul Bari, Jilid 7 h. 461).
Batas toleransi Nabi
Jaminan konstitusi dan pendekatan-pendekatan persuasif yang dilakukan Nabi saw menunjukkan toleransi yang tinggi kepada kaum Yahudi. Tapi, seiring perjalanan waktu, kaum Yahudi melihat masyarakat Muslim sebagai ancaman bahkan musuh. Sejumlah inidividu Yahudi membuat kericuhan dan menyebarkan permusuhan. Fanhash, seorang Ahbar (Rabbi) Yahudi, menghina Allah dan al-Qur’an di hadapan Abu Bakar (Ibnu Ishaq, Jilid 2 hal. 134); Ka`ab bin al-Asyraf, pemuka Bani Nadhir, merusak kios-kios di pasar baru milik kaum Muslim (as-Samhudi, Wafa al-Wafa, Jilid 1 hal. 539); Sallam bin Misykam, pemuka Bani Nadhir, sempat menjamu Abu Sufyan di rumahnya dalam perang Sawiq dan memberi informasi penting tentang kaum Muslim (Ibnu Ishaq, Jilid 3 hal. 4).
Sikap permusuhan yang digalang para pemuka agama dan tokoh masyarakat Yahudi ini semakin dipertajam oleh para penyair. `Ashma binti Marwan, Abu `Afak, dan Ka`ab bin al-Asyraf adalah penyair-penyair terkemuka Yahudi yang hampir tidak pernah berhenti menggunakan kekuatan lisannya untuk melontarkan bait-bait yang menghina Islam dan sosok Nabi Saw.
Nabi Saw menghadapi para penyair ini dengan sikap tegas, karena mereka orang-orang berpengaruh di masyarakat. Nabi Saw memerintahkan mereka dihukum mati. Terlebih Ka`ab bin al-Asyraf yang menyampaikan simpatinya secara langsung dan terbuka kepada Quraisy setelah kekalahan mereka di Badar. Bahkan, ia terus mengobarkan dendam agar segera bangkit dan menyiapkan perang besar melawan Madinah. (Prof Dr Muhammad bin Faris, an-Naby wa Yahud al-Madinah, h. 101-120).
Permusuhan Yahudi semakin meluas dan dilakukan berkelompok. Kasus pelecehan terhadap seorang Muslimah di pasar Bani Qainuqa` berujung pada terbunuhnya pemuda Muslim yang membelanya, Bani Qainuqa` menggalang solidaritas dan menantang secara terbuka, “Hai Muhammad, jangan lekas bangga hanya karena berhasil membunuh beberapa orang Quraisy. Mereka itu hanyalah orang-orang liar yang tidak pandai berperang. Demi Allah, jika kami yang engkau perangi, maka engkau akan merasakan kehebatan kami. Engkau tidak akan pernah merasakan lawan sekuat kami!” (Ibnu Ishaq, Jilid 2 hal. 129). Dalam kondisi seperti itu, Nabi saw pun bersikap tegas. Tantangan Bani Qainuqa’ dijawab dengan tegas. Mereka diperangi.
Yahudi Bani Quraizhah melakukan pengkhianatan terhadap negara. Klan terakhir Yahudi ini berkhianat dengan mendukung pasukan musuh (Ahzab) dalam perang Khandaq. Menghadapi permusuhan kolektif ini, Nabi Saw tidak punya pilihan selain menghukum mereka secara kolektif. Bani Qainuqa` dan Bani Nadhir diusir dari Madinah. Sedang Bani Quraizhah, semua lelakinya yang sanggup berperang dieksekusi.
Itulah toleransi Nabi Muhammad saw terhadap Yahudi. Wallahu a’lam bil-sahawab. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar